Taqin: Ramadhan Dorong Konsumsi Masyarakat Tetapi Belum Dapat Menjadi Penopang Pemulihan Ekonomi

Dua pekan sudah Ramadhan dilalui. Seperti biasa geliat kegiatan ekonomi di bulan Ramadhan pun meningkat meskipun tidak seperti situasi normal sebelum pandemi Covid-19. Datangnya Ramadhan biasanya memang diikuti dengan peningkatan konsumsi masyarakat. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya kebutuhan masyarakat untuk berbuka dan dorongan kegiatan berbagi dalam rangka infaq, sedekah dan zakat. 

Sebagaimana dipetik Kantor Berita Antara Kalimantan Selatan (23/4/2020), ahli ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat, Hidayatullah Muttaqin SE, MSI, Pg.D mengatakan pada situasi sebelum pandemi dan pada saat sedang tidak ada tekanan ekonomi, peningkatan belanja masyarakat pada bulan Ramadhan biasanya membantu pertumbuhan konsumsi rumah tangga di tingkat nasional lebih tinggi 0,1 sampai 0,2 persen dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelum atau sesudah Ramadhan. Sementara itu di Kalimantan Selatan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan di mana ada bulan Ramadhan-nya dapat lebih tinggi 0,2 sampai 1,2 persen.

Apakah Ramadhan dapat dijadikan sebagai momentum kebangkitan ekonomi di masa pandemi COVID-19? Menurut Taqin, momentum Ramadhan tidak dapat dijadikan penopang pemulihan ekonomi (economic recovery) yang tengah tertatih di era pandemi ini. 

Ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, geliat ekonomi pada masa Ramadhan bersifat musiman, sehingga begitu bulan puasa dan Hari Raya Idul Fitri sudah lewat, kegiatan ekonomi kembali ke situasi sebagaimana biasanya.

Kedua, permasalahan pemulihan ekonomi di masa pandemi COVID-19 tidak dapat dilakukan tanpa kemampuan mengendalikan pandemi itu sendiri.

“Jadi strategi pemerintah pusat yang mencoba menyeimbangkan penanganan pandemi sekaligus pemulihan ekonomi justru akan membuat pandemi sulit untuk dikendalikan,” jelas dosen Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan ULM itu.

Hidayatullah Muttaqin SE, MSI, Pg.D (ANTARA/Firman)

Selama pandemi belum dapat dikendalikan, kata dia, maka selama itu juga perekonomian tidak bisa melepaskan dari belenggu COVID-19, di mana pada satu sisi terjadi pelemahan daya beli masyarakat dan di sisi lain masyarakat juga cenderung menahan konsumsinya agar memiliki tabungan. 

Pada bagian lain meskipun pemerintah telah melakukan berbagai pelonggaran ekonomi di masa pandemi, dunia bisnis dan perdagangan tetap mengalami belenggu bahaya penyebaran COVID-19 dan menurunnya konsumsi masyarakat. 

Dampaknya adalah para pengusaha dari level UMKM hingga pengusaha besar juga cenderung berhemat dan menunda investasi, sehingga pertumbuhan lapangan kerja baru juga menjadi sangat lambat.

“Kita perlu mencontoh China yang mengambil langkah pengendalian pandemi terlebih dahulu dengan cara penerapan protokol kesehatan yang ketat, peningkatan strategi 3T dan pengendalian mobilitas penduduk dengan lockdown,” jelasnya.

Pemerintah China menyiapkan kompensasi bagi masyarakat dan dunia usaha untuk kebijakan ini. Tetapi pandemi cepat terkendali dan perekonomian China pada tahun 2020 tetap tumbuh positif sebesar 2,3 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi minus 2,07 persen. Bahkan pada triwulan I 2021 ini, pertumbuhan ekonomi China melejit ke level 18,3 persen.

“Di sinilah kita harus memilih. Pemerintah sebaiknya mengutamakan kebijakan penanganan dan pengendalian pandemi COVID-19 secepatnya. Tanpa pengendalian pandemi maka tidak ada pemulihan ekonomi. Pelonggaran di masa pandemi hanya akan menyebabkan semakin banyak korban COVID-19 yang berjatuhan dan semakin besar ongkos kesehatan serta biaya ekonomi yang kita tanggung,” papar pria yang juga anggota Tim Pakar ULM untuk Percepatan Penanganan COVID-19. []

Sumber: Antara Kalimantan Selatan, 23 April 2021 – Pewarta: Firman.