Modal Sosial Masyarakat Indonesia untuk Mengatasi Wabah Covid-19

Oleh Dr. Noor Rahmini, SE.,ME

Saat ini Indonesia dalam kondisi tanggap darurat bencana non alam, yaitu pandemi virus corona (Covid-19). Corona terus mewabah dengan sebaran hampir di semua daerah. Jumlah kasus terkonfirmasi, dalam perawatan, hingga meninggal dunia terus meningkat setiap hari. Sejumlah pemodelan (UI, UGM, IPB) memproyeksikan, wabah tersebut akan mencapai puncaknya pada April hingga Mei 2020.

Undang-Undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa epidemi dan wabah penyakit merupakan contoh bencana non alam. Penanganan masa krisis inilah yang akan menentukan apakah jumlah kasus positif corona akan terus naik atau terkendali. Indonesia memiliki banyak pengalaman dalam penanganan bencana alam. Namun untuk menangani bencana non alam seperti virus corona, Indonesia pemula.

Meski demikian tidak ada kata terlambat untuk menghambat dan menghentikan laju penyebaran corona. Seperti diketahui, virus ini menyerang semua lapisan masyarakat. mau kaya, mau miskin. pejabat maupun tidak punya jabtanan. Anak kecil maupun dewasa. Bisa saja terjangkit. Menghadapi bencana ini artinya membutuhkan solidaritas masyarakat yang kuat. Dalam upaya menumbuhkan dan memupuk rasa solidaritas yang tinggi, diperlukanlah modal sosial.

Modal sosial berasal dari interaksi dari berbagai faktor, yang masing-masing memerlukan hubungan sosial yang membentuk bagaimana agen bereaksi dan reaksi ini dibentuk oleh adanya modal sosial. Modal sosial adalah jaringan, norma dan kepercayaan yang memfasilitasi kerjasama dan koordinasi (Putnam, 1998; COLEMAN, 2000). Oleh karena itu, Modal sosial dipercaya sebagai “ujung tombak” dalam mengatasi penyakit yang ada di masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2014 dalam statistik modal sosial menjelaskan bagaimana modal sosial diukur. Instrumen pengukuran merujuk pada instrumen Bank Dunia (Grootaert, Narayan, Jones, & Woolcock, 2004) masih relevan untuk menggerakkan energi sosial mengatasi bencana corona. Berikut implementasi modal sosial dalam konteks mengatasi bencana corona.

Sikap Percaya dan Solidaritas

Sikap saling percaya diperlukan untuk mengatasi bencana corona. Saling percaya diperlukan baik antar masyarakat maupun dengan pengambil kebijakan. Masyarakat harus percaya dengan skema kebijakan penanggulangan bencana corona pemerintah, dengan tetap berpikir kritis. Percaya ketika diminta untuk tetap di rumah, bekerja di rumah, meniadakan kegiatan ramai, tidak berkerumun, dan sebagainya untuk mencegah penyebaran virus secara masif.

Tanpa kepercayaan publik, upaya pemerintah mengatasi bencana corona akan sia-sia. Begitu juga sebaliknya, pemerintah mesti percaya bahwa masyarakat juga tidak tinggal diam. Masyarakat ikut membantu, baik sekadar mengikuti anjuran pemerintah, maupun membantu mengatasi kekurangan perlengkapan dan kebutuhan yang belum mampu dicukupi pemerintah. Misalnya kebutuhan tenaga medis, masker, hand sanitizer, bahan makanan, dan lainnya.

Pemerintah seharusnya menjaga kepercayaan ini dengan mengoptimalkan upaya penanggulangan bencana corona. Mengutamakan kepentingan publik dibanding kepentingan segelintir elite. Kepercayaan akan menumbuhkan solidaritas, baik individu maupun kolektif. Solidaritas merupakan energi sosial untuk menghadapi bencana corona. Solidaritas antar warga dapat membangun kekuatan di tingkat masyarakat dan bersatu dalam solidaritas nasional.

Penguatan Kelompok dan Jejaring

Masyarakat Indonesia terbiasa hidup komunal baik formal maupun informal. Kelompok merupakan salah satu modal sosial penting di Indonesia. Kekuatan kelompok dapat mendorong kebersamaan untuk pemecahan masalah, termasuk bencana corona. Partisipasi kelompok diperlukan untuk membangun kekuatan kolektif melawan wabah tersebut.

Membangun kesadaran individu dalam kelompok-kelompok masyarakat penting untuk memutus rantai penyebaran corona. Di sini, perlu peran opinion leader untuk membangun kesadaran dan perubahan perilaku untuk mendukung penanggulangan bencana corona. Misalnya saling mengingatkan untuk mematuhi protokol pencegahan penyebaran virus sampai lingkungan terkecil RT/RW.

Selanjutnya, jejaring antar kelompok harus diperkuat untuk membangun kekuatan lebih besar. Kekuatan besar akan terbangun dengan bertopang pada budaya, agama dan sosial. Jejaring yang terbentuk akan membangun solidaritas kolektif.

Gotong Royong dan Kerja Sama

Gotong-royong adalah modal sosial yang sudah mengakar, warisan leluhur bangsa Indonesia. Gotong royong ini tercermin dalam budaya saling tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam suasana merebaknya virus corona, pentingnya saling tolong menolong bagi warga yang terkena dampak corona. Masyarakat yang memiliki kemampuan finansial lebih membantu masyarakat yang finansialnya menurun terutama yang terkena imbas corona secara langsung.

Kerja sama juga diperlukan dari pelaku usaha untuk tidak memanfaatkan situasi dengan menaikkan harga tidak wajar dan menimbun barang. Dunia usaha seharusnya cepat tanggap mengalokasikan dana CSR untuk penanggulangan bencana corona. Dalam kondisi demikian, semua bisa menjadi korban. Jika dunia usaha tidak mau ambil bagian, bisnisnya ke depan pasti akan terganggu. Sebab dunia usaha berhubungan dengan SDM dan pasar. Keduanya digerakkan oleh manusia. Dan, wabah corona mengincar manusia, siapa saja, di mana saja.

Informasi dan Komunikasi

Subdimensi ini memainkan peranan penting untuk mengatasi infodemik yang mewabah di berbagai media sosial. Hoaks salah satunya. Masifnya penyebaran hoaks terkait corona akan memicu kepanikan publik dan mengganggu sistem sosial ekonomi secara nasional. Hoaks juga memicu panic buying di pasar tradisional. Menghadapi ini, aparat pemerintah di daerah sampai level desa maupun kelurahan mestinya bisa menjadi komunikator bagi masyarakat. Dalam kondisi krisis, warga butuh komunikator yang sumbernya dapat dipercaya.

Di sisi lain, pemerintah sebaiknya lebih terbuka terhadap data infrastruktur dan sumber daya untuk mengatasi bencana corona. Adanya gap antara informasi pemerintah dan realitas lapangan menyebabkan ketidakpercayaan publik. Selain itu, publik membutuhkan informasi akurat tentang individu dan lokasi Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan pasien positif corona, dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas pribadi pasien.

Informasi tertutup, simpang-siur, dan samar hanya akan menciptakan kepanikan atau ketidakpedulian. Banyak masyarakat masih cuek dan santai karena merasa di kawasan tempat tinggal dan aktivitasnya aman dari wabah corona. Akhirnya, imbauan pemerintah untuk tetap di rumah diabaikan.

Keeratan Sosial dan Kebersamaan

Subdimensi ini berkaitan dengan keeratan sosial, upaya meredam konflik sebagai akibat dari berbagai macam perbedaan antar anggota masyarakat, serta ada tidaknya diskriminasi terhadap akses layanan publik. Keeratan sosial diperlukan agar bencana corona tidak memicu konflik, baik konflik SARA, konflik identitas, maupun konflik ekonomi.

Tidak dipungkiri, bencana corona berdampak terhadap perekonomian masyarakat, terutama sektor informal dan UMKM. Permasalahan ekonomi biasanya memiliki efek domino terhadap permasalahan sosial. Keeratan sosial diperlukan untuk meredam efek domino tersebut. Dalam konteks ini, keeratan sosial akan berkaitan dengan keeratan ekonomi. Keeratan ekonomi akan menjaga masyarakat dari potensi konflik ekonomi.

Keeratan sosial ekonomi juga bermakna pihak yang tidak terdampak secara ekonomi membantu tetangganya yang terdampak. Pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh publik, dan siapa pun, mestinya dapat mendorong keeratan sosial ekonomi di lingkungannya. Dana kas/infak rumah-rumah ibadah mestinya dapat dialokasikan untuk kebutuhan makanan masyarakat terdampak langsung, sampai pandemik ini berakhir. Keeratan sosial dan ekonomi ini akan memperkuat kebersamaan warga dan negara dalam menanggulangi bencana corona. Bersama-sama, bangsa Indonesia menghadapi tantangan global yang berat ini.

Ketika pemerintah memutuskan kebijakan kerja di rumah, larangan berkumpul, larangan membuka usaha, mestinya dibarengi dengan insentif bagi dunia usaha dan pekerja informal terdampak.

Referensi:
COLEMAN, J. (2000). Social Capital in the Creation of Human Capital. In Knowledge and Social Capital. https://doi.org/10.1016/B978-0-7506-7222-1.50005-2

Grootaert, C., Narayan, D., Jones, V. N., & Woolcock, M. (2004). Measuring social capital: An integrated questionnaire. In World Bank Working Paper.

Putnam, R. D. (1998). Bowling Alone : America ’ s Declining Social Capital.