Saipuddin: Insentif Fiskal Angin Segar bagi Dunia Usaha dan Konsumen di Tengah Badai Pandemi Covid-19

Laporan: Dessy Maulina

Dr. Saipuddin

Ketika wabah Covid-19 melanda Indonesia, sejumlah paket kebijakan telah dilakukan untuk meredam dampak negatifnya terhadap perekonomian. Kebijakan yang dilakukan antara lain dari sisi moneter dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan, bantuan langsung dan lain-lainnya. Namun beberapa pengamat ekonomi mengatakan bahwa kebijakan moneter di masa wabah kurang tepat.

Menurut dosen Jurusan IESP, Saipuddin, persoalannya bukan hanya menyangkut sistem keuangan, namun pandemi ini menimbulkan shock dari sisi supply dan demand. Kebijakan PSBB dan kekhawatiran masyarakat akan tertular Covid-19 menyebabkan terhentinya kegiatan produksi pada sebagian besar sektor-sektor kegiatan ekonomi.

Sedangkan sisi demand tetap berjalan meskipun mengalami pelambatan seiring dengan semakin melemahnya daya beli masyarakat. Hal ini karena masyarakat harus tetap melakukan konsumsi untuk dapat bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19. “Karena itu insentif fiskal sangat diperlukan dunia usaha dan masyarakat pada saat ini” papar Saipuddin.

Kebijakan pemerintah dari sisi fiskal yang diarahkan pada kegiatan produksi dan ekonomi rumah tangga dapat menjadi angin segar bagi dunia usaha. Beberapa waktu lalu Kementerian Keuangan Ri mengeluarkan kebijakan tersebbut melalui PMK No. 23 tahun 2020 yang kemudian diperbaharui menjadi PMK No. 44 2020 pada bulan April dengan lebih banyak sektor industri yang mendapatkan insentif .

Selain itu, pemerintah juga membebaskan pemungutan pajak penghasilan impor dalam PPh 22. Pemerintah melihat pentingnya menjaga supply bahan baku impor untuk industri pengolahan di dalam negeri sehingga dilakukan kebijakan ini. Kemudian dalam PPh 25 pajak yang dikenakan pada perusahaan atau badan hukum diturunkan dari 25 persen menjadi 22 persen. Di samping itu juga terdapat resitruksi pajak di mana kelebihan pembayaran pajak oleh perusahaan kepada pemerintah akan dikembalikan.

Terkait untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintah melalui PPh 21 menetapkan karyawan yang memiliki penghasilan di bawah 200 juta per tahun, pajaknya ditanggung oleh pemerintah. Saipuddn menggarisbawahi, kebijakan ini diharapkan menjadi perisai daya beli masyarakat di tengah pendemi Covid-19 yang belum dapat diprediksi kapan berakhirnya. [Dessy]